Friday, December 2, 2016

Memberi Label ‘Anak Nakal’, Tepatkah?

Berbicara mengenai jawaban pertanyaan apa aksimu untuk Indonesia, saya langsung kepikiran dengan yang paling dekat dengan saya sekarang. Kegiatan rutin yang saya lakukan sekarang, yang semakin lama saya di situ (tempat kerja) saya semakin betah dan senang.
Apa gunanya orang hidup kalau tidak punya manfaat untuk sesama, dari statemen itu saya menimbang-nimbang untuk memasukkan lamaran pekerjaan di tempat saya sekarang. Dan merasa berjodoh dengan anak-anak setelah berkesempatan bekerja bermain bersama mereka setiap hari.
Inilah waktu yang tepat, saya diberikan kesempatan oleh Tuhan untuk berjodoh dengan anak-anak asuh saya di PAUD & Daycare. Berkesempatan menjadi teman bermain mereka di sekolah adalah sesuatu yang menyenangkan. Menyenangkan karena setelah saya bilang kepada seseorang “Saya pengin punya anak.” Saya diberi lebih dari 12 anak di sekolah oleh Tuhan. Tindakan paling dekat yang bisa saya lakukan untuk saat ini dan nanti adalah ini. Menstimulasi perkembangan anak-anak saya, yang merupakan bagian dari anak-anak Indonesia juga.

Banyak yang saya dapatkan di tempat kerja. Mulai dari pengasuhan dan pendidikan untuk anak-anak, sampai rasa ingin tahu yang membuat saya penasaran mengenai psikologi dan perkembangan anak. Seringnya diadakan acara parenting di sekolah juga membuat saya penasaan dan membuka pikiran bahwa menjadi orang tua tidak sesederhana yang saya pikirkan sebelumnya. Penekanan pantangan melarang, menyuruh, dan marah kepada anak, secara tidak langsung juga membuat saya mengendalikan diri dan emosi.
Kesalahan, keributan yang mereka alami adalah bagian dari proses belajar. Dibutuhkan kesabaran ekstra untuk menghadapi mereka. Hari-hari mereka adalah belajar memahami konsep orang dewasa. Mereka belajar dari apa yang mereka lihat dan dengar. Mereka belajar dari apa yang orang dewasa terdekat lakukan. Rebutan mainan sampai pukul-pukulan, makan tercecer di lantai, buang sampah di sembarang tempat, mainan yang berantakan di lantai akan menjadi santapan lezat setiap hari jika dalam rumah ada anak-anak.
Tapi inilah tantangannya. Bagaimana mereka bisa belajar main bergantian, permisi kalau mau pinjam, makan yang rapi, berdoa sebelum makan, sayangi teman, gunakan tangan dengan baik, buang sampah pada tempatnya, beres-beres selesai bermain kalau orang dewasa tak pernah membimbing untuk melakukan dan mencontohkan demikian? Kebiasaan yang berulang-ulang dan memberi pengertian tanpa bosanlah yang bisa membentuk konsep baik dalam diri mereka.
Suatu ketika muncul pertanyaan dari partner kerja saya kenapa anak-anak yang tidak tahu dosa dikatakan nakal? Tepatkah? Berkaitan dengan seorang anak (sekitar 2 th ) sering memukul temannya.
Di lingkungan sekitar, kerap sekali saya jumpai orang dewasa mudah mengeluarkan kata ‘anak nakal’ kepada anak-anak yang berbuat kurang baik. Kenapa mudah sekali mengatakan ‘anak nakal’? Tepatkah demikian?
Hingga suatu sore, saya mencari jus alpukat. Jam setengah 7 selepas kerja setelah mutar-muterdi sekitar Sampangan Semarang, akhirnya nemu penjual jus juga. Ketika sedang menunggu pesanan, tiba-tiba ada anak (sekitar 2th) yang keluar dari rumah,
“Mamah….” Dia memanggil.
Waktu itu Mamanya sedang sibuk membuatkan jus buat saya. Si anak, akhirnya tidak diladeni. Ia berdiri memegang semangkuk nasi. Agaknya ketika saya datang, Mamanya sedang menyuapinya makan. Karena ada pembeli, ia ditinggal sebentar. Di depan pintu dia saya amati terus, sambil saya ajak bicara. Tapi tak lama setelah itu, ia menumpahkan seluruh isi mangkok di lantai.
“Kamu kok nakal ta Dek, Nasinya kok ditumpahkan!”
Lagi-lagi kata nakal keluar dari ucapan seorang ibu. sudah terlampau sering, kata nakal dikeluarkan hanya karena tindakan sepele seorang anak. Saya bertanya-tanya lagi. Apa sih nakal itu? Kenapa mudah sekali melabeli ‘anak nakal’? Anak-anak yang sedang berproses/ diinstallotaknya oleh orang tua di rumah dan guru di sekolah dengan banyak konsep baik, tepatkah semudah itu disebut nakal hanya karena melakukan sedikit kesalahan?
Anak-anak di masa emas pertumbuhan adalah masa-masa paling penting untuk perkembangannya. Secara fisik, psikis, dan sosial  emosional mereka sedang berkembang. Mereka menerima banyak konsep. Bahasa orang dewasa di sekitar, mereka pelajari dengan sangat cepat. Tidak hanya bahasa verbal, bahkan bahasa tubuh pun mereka amati. Mereka juga selalu membaca pola orang dewasa. Ketika menginginkan sesuatu, apa yang harus mereka lakukan. Ketika berhasil menarik perhatian orang dewasa, mereka akan mengulanginya di kemudian hari, seperti itulah anak-anak. Kesalahan yang dilakukannya bukan berarti dia itu nakal. Anak-anak tidak paham apa itu nakal. Pengertian yang diucapkan oleh orang dewasa secara berulang-ulanglah yang akan membuat anak-anak paham bahwa mereka melakukan kesalahan. Dan tidak bosan mengucapkan kalimat pengertian yang baiklah yang bisa membuat mereka paham bahwa suatu tindakan sebaiknya tidak diulangi.
Baca komik dari majalah yang berasal dari rak bacaan anak-anak di sekolah, saya menemukan cerita menarik. Seorang anak menangis karena kaktus yang ia tanam membusuk. Kenapa membusuk? Karena si anak terlalu banyak menyiram air. Salah seorang temannya menasehati,“Sudah, menangis tak akan menghidupkan kaktusmu kembali. Daripada menangis lebih baik mencari tahu bagaimana cara menyayangi dan merawat tanaman yang lain.” Si anak termenung.
Kalau sebuah tanaman seperti itu, demikian pula manusia. Apa yang anak butuhkan itulah yang harus dipenuhi. Dan potensi setiap anak berbeda. Perlakuan dan cara belajarnyapun juga berbeda. Untuk membuat anak berhasil, jelas butuh ketelatenan, kesabaran, dan yang jauh lebih penting adalah pengetahuan. Mengetahui bagaimana cara membuat anak tumbuh dan berkembang menjadi makhluk yang bermanfaat dan bahagia adalah kunci.
Anak-anak bukan miniature orang dewasa. Tidak semestinya memperlakukan mereka seperti orang dewasa, apalagi menganggap mereka serba tahu seperti orang dewasa. Mereka seperti computer baru yang harus diinstall. Mereka harus ditanami hal-hal positif. Tatapan-tatapan mata mereka masih suci.
Ada banyak hal yang membuat saya tertarik kepada mereka. Karena tuntutan harus ceria dan hati yang tulus. Jika sedang ada masalah, ketika menghadapi mereka jadi teralihkan semua dan lebih terbawa energy positif mereka. Senyuman mereka yang manja dan riang di depan saya, membuat saya lupa masalah-masalah yang mengganggu. Lelah membuat laporan, langsung lenyap begitu saja oleh sambutan dan pelukan hangat mereka saat saya membuka pintu. Bahkan mata kantuk berubah menjadi senyuman begitu mereka berebut memeluk saya.
Sejak bekerja di PAUD & daycare, setiap hari menghabiskan waktu bermain bersama mereka membuat saya merasa beruntung. Beruntung berjodoh dengan Ais, Bila, Zizi, Nabil, Afif, Rama, Jibril, Nendra, Zafran, Zaki, Arsha, dan  Radin. Masih terus merasa ingin tahu banyak hal tentang mereka, tentang psikologi anak, dan apa saja yang mereka butuhkan dan yang berkaitan dengan perkembangan mereka. Masih terus ingin mempelajari mereka kemudian mengajak mereka bermain supaya mereka punya pengalaman menyenangkan, sekaligus bisa menstimulasi potensi mereka. Mereka adalah amanah, dan saya harus siap dilupakan ketika mereka beranjak dewasa.
Yang bisa saya lakukan baru sekecil ini. Mengajak anak-anak bermain di sekolah. Saya percaya sebenarnya tidak ada yang namanya anak nakal, karena anak manapun fitrahnya pasti baik dan memiliki potensi, kalau mereka melakukan kesalahan itu artinya bukan nakal, tapi karena mereka belum paham bagaimana sebaiknya dan semestinya. Orang dewasalah yang bisa meluruskan. Dan semestinya tidak berhenti memberi mereka pengertian yang benar.

No comments:

Post a Comment